"Astagfirullah halazim", kalimat itulah yang keluar dari mulut bergetar seorang wanita paruh baya saat melakukan aksi penolakan pembongkaran rumah mereka di jalan HS Abdul Aziz, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang.
"Tolong pak, jangan di bongkar pak. Saya udah ga punya apa-apa pak", kembali ia menambahkan kalimatnya sambil menjerit menangis bak anak kecil yang kehilangan mainannya.
Sungguh teriakan dan jerit tangis itu menyayat hati ini. Bagaimana tidak, sang ibu renta itu mengaku sudah menempati rumahnya selama puluhan tahun. Seorang ibu lainnya terlihat termenung didepan rumahnya seorang diri. Saat ditanya ibu itu mengaku kebingungan akan tinggal dimana nantinya jika rumahnya dibongkar. "Saya bingung mas mau tinggal dimana lagi", katanya. Padahal dirinya sudah tinggal dirumah itu selama 30 tahun. "Dari saya muda mas saya tinggal disini, kira-kira udah 30 tahun", tambahnya.
Terlihat kecemasan di raut mukanya. Air matanya terlihat tertahan di bawah matanya. Pemandangan yang sama terlihat di semua warga yang tinggal di jalan yang merupakan bantaran rel kereta api.
Berdasarkan konfirmasi kepada camat setempat, ada 47 rumah yang menempati lahan PT KAI dan perairan Kota Tangerang. Camat itu juga mengatakan surat pemberitahuan pembongkaran sudah diberikan kepada warga sejak awal tahun ini. "Sudah dari Januari suratnya dikasih kewarga", katanya.
Menurut camat, pihaknya sudah merundingkan kepada warga mengenai pembongkaran tersebut. Dan hari itu merupakan hari terakhir pembongkaran. "Hari ini, hari terakhir untuk dibongkar", tegasnya.
Sementara itu, pejabat PT KAI daerah Kota Tangerang mengatakan, pembongkaran itu harus dilakukan untuk mencegah kejadian tabrakan kereta api di pemalang, jawa tengah, yang merusakan rumah warga di pinggir rel terulang. Selain itu, alasan pembebasan lahan untuk pembangunan doble track juga dikemukakan. "Ini untuk kepentingan mereka juga, untuk keselamatan supaya kejadian seperti di pemalang tidak terulang disini. Selain itu, ini juga merupakan upaya pembangunan rel ganda yang 2011 ini akan selesai dibangun", jelasnya.
Meski warga menolak pembongkaran rumah mereka, namun tidak ada upaya kekerasan dari petugas satuan pamong praja Kecamatan Tangerang yang bertugas langsung melakukan pembongkaran. Warga sebenarnya mengakui dirinya salah karena sudah menempati lahan milik negara, namun warga tetap ingin bertahan di rumah yang sudah ditempati puluhan tahun.
Suatu realita yang benar-benar terjadi di antara kita semua, tetapi sayangnya kita kurang peka terhadap hal seperti itu. Bayangkan jika wanita paruh baya tersebut merupakan ibunda kita. Sungguh menyedihkan dan menyayat hati. Sebuah ketimpangan sosial yang harus kita sadari, dan sebenarnya tidak perlu terjadi.
Mulailah kita sadari hal itu, supaya kita peka terhadap berbagai kesulitan yang terjadi di sekitar kita.
(081010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar